Target pemerintah atas penyediaan listrik hingga tahun 2027 menurun dari 77,9 gigawatt (GW) menjadi 56 GW sebagaimana tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Menteri ESDM Ignasius Jonan menyebut RUPTL tahun lalu dibuat dengan asumsi kebutuhan listrik lebih tinggi dari saat ini. “Sekarang kami lihat pertumbuhan listrik sekitar 7%, kalau melonjak ya kami ubah,” kata Jonan di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (8/3/2018).
Jonan mengaku tetap mensyaratkan capacity factor (perbandingan produksi dan kemampuan produksi listrik) yang tinggi, di mana saat ini mencapai 85%. Tujuannya adalah agar biaya pokok produksi listrik per kWh bisa turun.”Jadi kapasitas faktor naik, biaya ditekan,” ujar Jonan.
Dia menjabarkan, dalam RUPTL 2018-2027, kapasitas PLTU akan berkurang 5 ribu MW, PLTG dan PLTGU berkurang 10 ribu MW, lalu peningkatan energi baru terbarukan (EBT) dari 1.200 MW menjadi 2.000 MW. “PLTA berkurang sedikit, namun yang lain bertambah seperti bayu (angin), solar PV, bio massa, dan bio gas,” sebut Jonan.
Penyusunan target dalam RUPTL 2018-2017, kata Jonan dilakukan juga berdasarkan proyeksi bahwa COD atas setiap pembangkit dicocokkan dengan proyeksi pertumbuhan kebutuhan listrik Indonesia di setiap wilayah. Selama ini, pemerintah melalui PLN menjamin kalau pertumbuhan ekonomi melonjak, misal 7%, listrik yang tersedia dinilai masih akan cukup.
Hal itu utamanya dikarenakan tiap daerah rencananya memiliki cadangan sekurangnya 30%. Untuk dua kawasan paling tertinggal dalam penyediaan listrik, yaitu NTT dan Papua, pemerintah akan mengejar hingga 2019. “Didukung pipa PGN, pasang lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE), bisa mencapai 99%,” jelas Jonan.
Dengan adanya penurunan target, pembangkit yang sebelumnya telah ada dalam RUPTL akan digeser ke target dalam perencanaan berikutnya dan untuk saat ini masuk ke proyek yang potensial. “Kita geser ke 2030, karena pertumbuhan ekonomi 5,2% sedangkan target Bappenas 5,5%,” tutup Jonan.
Sumber: cnbcindonesia.com