Pajak Air hingga PPB Bakal Naik, Warga DKI Makin Sulit Punya Rumah

Pemprov DKI Jakarta sedang mengkaji peningkatan besaran pajak, salah satunya pajak air tanah. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswesan mengatakan, Pemprov DKI juga menyoroti besaran pajak bumi dan bangunan (PBB).

Rencana kenaikan pajak tersebut tidak terlepas dari target Pemprov DKI yang mengerek pendapatan pajak dari Rp 36,125 triliun menjadi Rp 38,125 triliun pada tahun ini.

Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED), Farouk Abdullah Alwyni, mengatakan, kenaikan pungutan PBB akan memberi dampak jangka menengah dan panjangnya terhadap masyarakat.

Farouk melihat kenaikan tersebut bakal berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat Jakarta karena alokasi dana yang perlu dikeluarkan meningkat sedemikian rupa. Menurut Farouk, pihak yang paling dirugikan dalam hal ini adalah kelas menengah. Tak ayal, ketika orang semakin tua, penghasilannya semakin turun, PBB malah semakin mahal dan mencekik.

“Di sini negara bukannya membawa maslahat bagi masyarakat malah membawa mudharat,” kritiknya, Minggu (27/5/2018).

Persoalannya adalah PBB ini tidak hanya membebani masyarakat Jakarta tetapi juga berbagai kota di Indonesia umum-nya.

Ia menyatakan, seharusnya sebelum menaikkan kembali PBB di tahun 2018 ini, Gubernur DKI Jakarta yang baru perlu mereview kembali kebijakan kenaikan PBB yang sangat tidak logis di tahun 2014.

Di satu sisi Farouk mengapresiasi kebijakan Gubernur Anies Baswedan yang mencabut pemberian potongan atau diskon PBB sebesar 50% untuk lapangan golf.

Memang, menurut Farouk diskon besar untuk lapangan golf adalah sangat tidak proporsional mengingat pihak yang menikmati permainan golf adalah orang-orang yang sangat mampu, sedangkan di sisi lain sangat sulit bagi anggota masyarakat biasa untuk mendapatkan potongan PBB sebesar 50%.

Tetapi di sisi lain Farouk menyayangkan bahwa Gubernur yang menampilkan slogan “Maju Kotanya, Bahagia Warganya” tersebut bukannya mengkoreksi kesalahan kenaikan PBB yang bombastis di tahun 2014 malahan justru menaikkan kembali PBB di tahun 2018 ini.

“Kelas menengah perkotaan adalah korban utama dari PBB yang terus meningkat,” tegas Farouk.

 

Farouk menjelaskan, pungutan PBB yang semakin tinggi membebankan para pemilik rumah di dalam kota (khususnya daerah Jakarta Pusat). Belum lagi Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta memberikan stigma yang tidak etis, yakni dengan dengan menempelkan tanda besar di depan rumah warga yang tidak bisa membayarkan PBB-nya.

“Pertimbangan peningkatan pajak karena suatu daerah adalah daerah komersial juga melakukan sebuah generalisasi yang tidak proporsional, karena lepas dari daerah Thamrin dan Sudirman, peningkatan PBB berdampak ke wilayah sekitarnya. Padahal, daerah sekitar Thamrin dan Sudirman itu rumah dan bangunan komersial masih bercampur,” ungkap praktisi keuangan Islam tersebut.

Ia menggarisbawahi, peningkatan pajak yang drastis di tahun 2014 dan di lanjutkan di tahun 2018 ini bukan saja tidak manusiawi tetapi juga tidak rasional dan bersifat oppressive karena memberikan beban yang sangat berat kepada masyarakat pada umumnya.

Hal ini pun janggal jika mempelajari konteks perpajakan internasional bagi masyarakat negara-negara maju. Apalagi kalau di negara maju setiap peningkatan pajak harus diimbangi oleh perbaikan pelayanan publik dan juga infrastruktur yang nyata.

Untuk konteks Indonesia sebagai sebuah negara berkembang yang berusaha menjadi negara maju, pembebanan PBB berlebihan juga tidak sesuai dengan semangat reformasi yang ingin melihat kesejahteraan yang lebih baik bagi segenap anggota masyarakat.

“Kondisi yang ada sekarang esensinya adalah bukannya membangun lebih banyak kelas menengah, tetapi justru dapat menghancurkan kelas menengah yang baru tumbuh,” sebutnya.

Farouk mengambil contoh regulasi perpajakan di Los Angeles, Amerika Serikat, yang mana maksimum peningkatan property tax(baca PBB) adalah tidak boleh lebih dari 2% setiap tahunnya seperti tertuang dalam Article 13A of the California Constitution.

Di negara bagian New South Wales & Victoria, Australia, bahkan rumah tinggal utama tidak dikenakan property tax sama sekali. Di Jerman bagian Barat, nilai penetapan property tax adalah di tahun 1964 dan bahkan di bekas Jerman Timur nilai yang digunakan adalah nilai tahun 1935.

Begitu pun di Belanda maksimum kenaikan property tax adalah tidak boleh melebihi inflasi setiap tahunnya.

Dan perlu pula diketahui bahwa untuk kasus di Los Angeles, Farouk menambahkan, pembebanan pajak adalah berdasarkan nilai beli awal dari sebuah property.

Reappraisal hanya terjadi diantaranya jika ada jual beli dengan pihak ketiga, dan itupun nilainya harus disetujui oleh tax payer. Jadi pembebanan property tax tidak harus mengikuti perubahan harga properti yang mungkin terjadi dalam beberapa tahun ke depannya setelah pembelian seperti yang diterapkan pada tahun 2014 dan 2018 di Jakarta.

Dengan demikian properti yang dibeli misalnya 20 tahun yang lalu akan tetap menggunakan penilaian harga pada saat properti itu dibeli dan tidak mengikuti harga pasar yang berkembang.
“Penyesuaian hanya dilakukan jika properti tersebut dijual kepada pihak ketiga dengan harga pasar yang baru. Nah, pihak ketiga tersebut selanjutnya akan membayar property tax berdasarkan nilai pembelian baru tersebut,” paparnya.

Dengan berbagai beban ekonomi yang ada, warga Jakarta saat ini sudah semakin sulit memiliki rumah di tanah kelahirannya sendiri. Sebagian bahkan terpaksa tinggal di rumah warisan.

Dikhawatirkan rencana kenaikan pungutan pajak di Jakarta, maka beban yang harus ditanggung warga Jakarta akan semakin berat.

Dari hasil sentiment survei yang diolah tim Business Intelligent Rumah123, meski tinggal di rumah yang berlabel milik sendiri, hunian tersebut diketahui didapat dari hasil warisan keluarga. Sisanya sebesar 36% menyewa/mengontrak/kost, dan hanya 19,4% yang punya rumah lewat uang sendiri atau milik sendiri.

“Betul, pengakuan tinggal di rumah sendiri, namun rumah tersebut mereka peroleh dari warisan. Bukan dibeli dengan uang mereka sendiri,” kata Country General Manager Rumah123, Ignatius Untung.

Hal yang sama juga berlaku untuk wilayah Bandung dan Surabaya yang masing-masing 56% dan 47% penduduknya menempayi rumah yang merupakan rumah warisan atau milik orang tua atau rumah dinas. Wilayah penyangga Jakarta yang mencakup Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi justru sebaliknya, di mana sebagian besar penduduknya menempati rumah milik sendiri atau hasil uang sendiri.

Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya memiliki rumah sendiri sejak dini juga bisa dilihat dari tingkat penghasilan juga tak mempengaruhi kemampuan mereka membayar DP atau uang muka.

 

 

Sumber: detik.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *