Wilayah yang terletak di Jawa Barat ini terus menampilkan parasnya di industri properti. Berawal dari tahun 2008 saat krisis ekonomi menimpa Indonesia, banyak masyarakat kota yang beralih mencari hunian lebih murah di pinggir Jakarta, salah satunya Karawang.
Sejak tahun itulah Karawang mulai membenahi diri guna menyuplai kebutuhan masyarakat akan hunian yang layak, berikut sarana dan prasarana umum. Sektor properti pun terangkat oleh beberapa pengembang lokal yang rela merogoh kocek mereka untuk membangun sebuah kawasan perumahan. Saat itu, levelnya masih di kelas menengah bawah.
Regulasinya Jelas dan Ketat
Pembangunan properti yang marak di Karawang, seiring berkembangnya kawasan industri, dikhawatirkan akan menggerus lahan pertanian. Untuk mengantisipasi hal ini, Pemda Karawang terus mengawasi secara ketat proses penerbitan izin investasi dan tak segan-segan memberikan sanksi kepada pengembang yang melanggar.
“Jika ingin membangun pabrik di Karawang itu, tidak boleh diluar kawasan industri yang sudah ditetapkan. Perumahan juga sama, tidak boleh dikembangkan diatas lahan pertanian atau sawah karena ada plotnya masing-masing. Tak hanya itu, pembangunan properti di interchange Karawang Barat juga tidak boleh melebihi batas 200 meter ke belakang dari tepi jalan,” ungkap Principal LJ Hooker Karawang, Vivi Oktova Saputra.
Dari MBR Jadi Kelas Menengah
Di tahun 2013 silam, Karawang masih menjadi kawasan primadona untuk membangun hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Akan tetapi menurut Vivi, pelan-pelan masyarakat lokal di Karawang mengalami perubahan dalam taraf hidup mereka. Bila dulunya dikenal sebagai MBR, kini status itu sudah berganti.
“Semakin majunya suatu kawasan tentu berdampak pada gaya hidup masyarakat di sekitarnya, begitupun yang terjadi di Kawang. Semenjak ada hotel mewah, perumahan kelas menengah, department store, bahkan mall level atas, kehidupan masyarakat lokal di sana meningkat secara perlahan. Apalagi jika melihat standar penetapan UMP yang dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka,” tuturnya.
Untuk itu, saat ini masyarakat Karawang sudah mampu membeli hunian non-subsidi, dengan harga kisaran Rp 300 juta hingga Rp 500 juta. Vivi menceritakan, “rata-rata masyarakat di sana itu kerja di pabrik-pabrik besar yang ada di Karawang. Tak heran jika mereka jadi percaya diri untuk beli rumah, mengingat penghasilan per bulan yang mumpuni dan pekerjaan tetap yang dimiliki,”.
Seperti diketahui, Karawang merupakan lokasi dari beberapa kawasan industri, antara lain Karawang International Industry City KIIC, Kawasan Surya Cipta, Kawasan Bukit Indah City atau BIC di jalur Cikampek (Karawang).
Salah satu industri strategis milik negara juga memiliki fasilitasnya di deretan kawasan industri tersebut, yaitu Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia yang mencetak uang kertas, uang logam, maupun dokumen-dokumen berharga seperti paspor, pita cukai, materai dan lain sebagainya.
Masih Dominan Masyarakat Lokal
Vivi mengemukakan bahwa konsumen perumahan di Karawang masih didominasi oleh masyarakat lokal. “Warga lokal di sana pasti tidak mau terus-terusan ngontrak di wilayah sendiri. Akhirnya mereka mengumpulkan dana untuk beli rumah meski kebanyakan di tipe-tipe sederhana, sesuai dengan kemampuannya,” jelas Vivi saat ditemui di kediamannya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Menurut catatan resmi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi setempat, masyarakat urban yang menyerbu Karawang mencapai 80 orang per hari atau 2000 orang lebih per bulan. Namun di mata Vivi, kaum urban ini belum membawa dampak signifikan terhadap sektor properti.
“Biasanya kaum urban itu menetap karena menikah dengan orang Karawang asli, lalu mereka beli rumah deh. Ada juga yang jadi warga Karawang terus sewa atau beli rumah, karena tempat bekerjanya pindah ke sini. Seperti diketahui ketersediaan pabrik industri di Karawang kan ada cukup banyak,” tuturnya.
Adapun bagi kaum urban yang berada di level manajerial, tak jarang juga mereka lebih menyukai menginap di hotel. Maka dari itu tak heran jika hotel-hotel bintang tiga maupun empat di Karawang selalu dipadati pengunjung pada weekday dan sepi saat weekend.
Sementara di sisi kaum ekspatriat, Karawang kini terbilang sudah cukup mumpuni dalam menyerapnya. “Kalau ekspat sih lebih ke sewa, pilihannya ya rumah dengan tipe menengah-atas. Pas lah dengan bujet yang diberi perusahaan untuk mereka, sekitar Rp30 juta per tahun untuk sewa rumah,” tandasnya.
Sumber : okezone.com